Kotak Pesan


ShoutMix chat widget

PESANTREN LINGKUNGAN BULAN RAMADHAN 1432 H

Menyusuri Citarum, Mengagungkan Kebesaran Allah

MOMENTUM bulan suci Ramadan ini dinilai sebagai bulan penuh hikmah dan barokah serta ampunan dimanfaatkan oleh Ekologi Pesantren Nurul Bahri Al-Masoolih Kec. Katapang Kab. Bandung untuk memaknai nikmatnya sebagai khalifah di muka bumi. Mereka melakukan tadabur alam untuk memaknai semua ciptaan Allah swt yang ada di lingkungan sekitar. Karena sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab akan besarnya manfaat alam semesta, harus sama-sama mencintai lingkungan sekitar.

Sebanyak 60 siswa SD, SMP, SMA/SMK/MA dari 13 kecamatan di Kab. Bandung ambil bagian dalam kegiatan tersebut. Mereka berkonsentrasi di Ekologi Pesantren Nurul Bahri Al-Masoolih di Kp. Sukasari RT 01/RW 12, Desa Sangkan Hurip, Senin-Rabu (15-17/8).

Selain tadabur alam, mereka pun memonitor ekosistem Sungai Citarum, pawai obor, api unggun, peringatan Nuzulul Quran, sekaligus peringatan Kemerdekaan Indonesia. Studi belajar dan daur ulang sampah, juga menjadi fokus perhatian mereka.

Pimpinan Ekologi Pesantren Nurul Bahri, Ustaz Asep Setiawan, didampingi Koordinator Umum Perhimpunan Kelompok Kerja (PKK) Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Bandung Raya, Deni Riswandani menuturkan, kegiatan mulai ditekuni tahun 2003 hingga sekarang ini. Tetapi kegiatan yang dilakukan itu, tidak hanya di bulan yang penuh makna ini. Pada hari-hari biasa di luar bulan suci Ramadan juga kerap melakukan kegiatan serupa.

Dalam kegiatannya itu, Pesantren ini bekerjasama PKK DAS Citarum Bandung Raya dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum. Dengan keterlibatan mereka itu, pesantren ini tetap kegiatannya untuk membentuk hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Allah swt.

"Ini merupakan kegiatan rutin kami menyikapi masalah lingkungan. Pola kegiatannya pun melibatkan siswa SD-SMA/SMK/MA," kata Asep kepada "GM" disela-sela membina para siswa untuk mencintai lingkungan, Senin lalu.

Aaat para siswa menjalankan ibadah puasa, imbuh dia, mereka diajak untuk mempelajari dan menyikapi kondisi Sungai Citarum dari kacamata agama. Bagian dari penjabaran atau pengamalan syariah tentang masalah lingkungan.

"Sebab dalam pembelajaran agama juga disebutkan, tak hanya menciptakan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Tetapi disebutkan pula ada pembelajaan hubungan antara manusia dengan alam semesta. Selain itu, hubungan antara manusia dengan manusia," tuturnya.

Karena itu, kata dia, salah satu cara untuk memperbaiki rusaknya lingkungan dan alam sekitar yaitu dengan cara mengubah prilaku manusia. Jangan sampai orang yang tidak bertanggung jawab secara moral merusak hutan yang berimbas buruk pada rusaknya aliran Sungai Citarum. Karena itu di bulan suci ini adalah kesempatan untuk mengubah pola pikir manusia yang tidak mencintai lingkungan.

"Karena sebagai khalifatu fil ardhi, wajib memelihara lingkungan. Memelihara lingkungan memiliki nilai ibadah, bukan untuk merusakanya. Itu sebagai amanah dari Allah swt," tandasnya.
 
 


Mengemban Amanah Sebagai Khalifatull Ardhi, Insya Allah Mewujudkan 
Sumber Daya Air Yang Sehat dan Kuat Serta Terjaga


ISLAM adalah Diin yang Syaamil (Integral), Kaamil (Sempurna) dan Mutakaamil (Menyempurnakan semua sistem yang lain), karena ia adalah sistem hidup yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT : “Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan AKU cukupkan atasmu nikmatku, dan Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu”. (QS. Al-Ma’idah : 3). Oleh karena itu aturan Islam haruslah mencakup semua sisi yang dibuatuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya.

Pelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia, sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang disebut dalam QS Al-Baqarah: 30 ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Arti khalifah di sini adalah: “seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah SWT, baik kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara”. Di samping itu, Surat Ar-Rahman, khususnya ayat 1-12, adalah ayat yang luar biasa indah untuk menggambarkan penciptaan alam semesta dan tugas manusia sebagai khalifah.

Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam dua bukunya “Man and Nature (1990)” dan “Religion and the Environmental Crisis (1993)”, yang disajikan sebagai berikut:

“……Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make up, not as a rebel against heaven.” Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup)’

Allah SWT telah memperingatkan kepada umat manusia ”Janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi ini, sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. AL-QHASHAS ;77).

Jika Umat Manusia tidak menuruti Perintah Allah SWT, maka yang terjadi adalah “Telah tampak kerusakan di darat dan lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, sehingga Allah SWT menimpakan kepada mereka sebagai akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang lurus”. (Q.S AR-RUM ; 41).

Dan yang menjadi ketetapan Allah SWT adalah “,,, Sesungguhnya Allah SWT Tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri“ . ( Q.S AR-RA’D ; 11 ).

Mari menjaga dan memelihara Lingkungan Hidup dan Ekosistem kita bersama agar setiap mahluk mencapai tujuan penciptaannya dan manusia yang bertanggung jawab dituntut untuk mampu menghormati proses-proses alam yang sedang berjalan tanpa melakukan pengrusakan

Dokumentasi Kegiatan KLIK

Kearifan Lokal untuk Menyelamatkan Sungai Citarum



Malikus Senoadi Widyatama



Komitmen untuk Lingkungan
Pencemaran DAS Citarum tidak terlepas dari ulah tangan-tangan serakah yang mencoba mengeduk keuntungan produksi masal tanpa memperdulikan lingkungan. Suara bising pabrik-pabrik industri melatarbelakangi wilayah Majalaya, suara itu masih dapat ditolerir. Tetapi limbah industri seringkali dibuang langsung ke sungai tanpa proses pengolahan terlebih dahulu, menjadi sesuatu yang tidak bisa ditolerir lagi. Dunia internasional pun mengetahui bahwa pengolahan limbah diperlukan sampai batas yang aman untuk kemudian dibuang ke aliran air. Kini dunia internasional juga mencatat bahwa DAS Citarum merupakan 10 besar sungai di dunia yang terpolusi.
Orang yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan akan memancarkan aura yang berbeda. Demikian pendapat seorang teman ketika membicarakan tentang sosok orang-orang yang mampu menjadi sosok tokoh di masyarakatnya. Seorang Iwan Fals tidak akan menjadi panutan masyakat apabila dia tidak memiliki komitmen untuk melakukan kritik terhadap penguasa, atau seorang Thomas Alfa Edison yang harus melakukan percobaan hingga 1000 kali sampai akhirnya menemukan lampu bohlam.
Tubuh kecil tidak menghalangi tekad Deni Riswandani untuk melakukan advokasi di bidang lingkungan. Sarjana jurusan Sosiologi Universitas Tanjungpura Pontianak ini sudah biasa mendapat tekanan dan intimidasi di lapangan. “Kalau tidak kuat iman, orang seperti saya ini sangat mudah untuk dibungkam. Tetapi apabila kita berpikir sebagai masyarakat yang dikorbankan maka kita tidak boleh berhenti berjuang. Nasib suatu kaum hanya dapat diubah oleh dirinya sendiri”, kata Kang Deni tegas berkomitmen.
Tugas melakukan advokasi itu tidak ringan, karena pihak pemilik modal yang biasa mengotori DAS Citarum dapat berliku-liku dengan petugas, atau bahkan menganca dengan kekerasan. Bagi masyarakat korban kami sudah menawarkan jalan berdialog dan permohonan kepada pabrik-pabrik nakal tersebut. Jika jalan itu tidak mendapatkan titik temu rekan-rekan memilih untuk turun ke jalan dan berdemo menuntut perubahan.
Asal mula kisahnya sebagai aktivis dimulai ketika dirinya tergerak untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat di lingkungannya sendiri di Majalaya yang bertetangga langsung dengan pabrik-pabrik industri. Permasalahan limbah industri yang tidak diolah dan langsung dibuang membuatnya tidak dapat mentolerir masalah itu. Sebagai warga Majalaya yang dilewati Sungai Citarum, bukan hanya limbah industri, tetapi juga sebagian daerahnya terendam banjir luapan Sungai Citarum. Hal yang terburuk terjadi pada tahun 1984, genangan banjir sangat luas, sehingga sawah-sawah gagal panen dan kerugian sangat besar.
Menyadari perlunya membuat sebuah organisasi yang berfungsi untuk melakukan pendampingan kepada masyarakat di bidang lingkungan, pada tahun 2008 rekan-rekan Kang Deni mendirikan organisasi Elemen Lingkungan (ELINGAN). Dengan melakukan kegiatan riil bersama dengan masyarakat seperti kegiatan daur ulang sampah, menyadarkan masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai. Selain itu tetap melakukan aksi-aksi advokasi lingkungan.
Pada tahun 2010, bersama rekan-rekannya sesama penggiat komunitas di hulu Sungai Citarum, terbentuklah Perhimpunan Kelompok Kerja (PKK) DAS Citarum, dimana Kang Deni merupakan ketuanya. PKK DAS Citarum terdiri dari 120 komunitas akar rumput di hulu Sungai Citarum dan menjalin kerjasama dan hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti badan pemerintahan dan swasta.
“Intinya kami sekarang ini terbuka dan mendukung upaya-upaya perbaikan lingkungan. PKK DAS Citarum terbuka dengan kerjasama dengan berbagai pihak dan juga ingin meningkatkan kapasitas dalam komunitas ini agar dapat bekerja lebih baik lagi. Tetapi kami akan tetap objektif dan siaga. Jika ada tindakan-tindakan pelanggaran dan hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka tidak akan kami biarkan”. Itulah komitmen Kang Deni, salah satu tokoh peduli lingkungan di Sungai Citarum.
Sikap tegas dan gigih Kang Deni membuat ia mempunyai banyak musuh. Kecintaan Kang Deni terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar tempat tinggalnya membuatnya mempertahankan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan hidup. Tidak perlu untuk menjadi Van Damme atau Sylverster Stallone. Kang Deni yang berbadan kecil pun dapat berjibaku seperti layaknya Film Laga produksi Hollywood. Bahkan aksi laganya untuk menyelamatkan lingkungan tidak memerlukan polesan make up atau stuntman. Tetapi yang diperlukan oleh orang semacam Kang Deni adalah keikutsertaan masyarakat yang lebih luas untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Ciiiiaaaat, cukup tangguhkan anda untuk bergabung?

Citarum shoulders the burden of ignorance


Citarum River has sustained lives for centuries. Today, as it covers three provinces containing the largest population mass in Indonesia, it has become badly polluted and is a major cause of flooding. While the government has started to rejuvenate its functions, it is been admitted that the road to recovery will be long. The Jakarta Post’s Tifa Asrianti takes a journey along the river to unravel the complexities involved. 

Observing the waste that floats on Citarum River and its tributaries is like taking a trip to a supermarket. You can find almost everything there. 

As The Jakarta Post took a walk along Cidurian River, one of Citarum River’s tributaries that runs in front of the Balai Besar Citarum river development office, a plastic bag containing what seemed to be household waste made its quiet journey along the dirty river. 


“I once saw a bed flowing in this river. You can spot things that you least expect here,” Diella Dachlan from Balai Besar Citarum said. 

Troubled waters: An aerial view of Citarum River, taken during a fl ood. The deforestation in the river’s upstream area triggers fl oods in Bandung, West Java. Courtesy of citarum.org 

Citarum River’s waste problem starts life in the upstream area, with the livestock farms located in higher areas, like Lembang and Pangalengan, which produce at least 400 tons of cow dung every day. 

The waste is produced by 29,000 cows that are owned by 7,000 farmers. Currently, the farmers can only process 15 kilograms of dung per cow per day, while the remainder is dumped into Citarum River. 

The river is also the waste dump for around 1,500 industries in the Bandung basin, such as Majalaya, Banjaran, Rancaekek, Dayeuh Kolot, Ujung Berung, Cimahi and Padalarang. Citarum has to accommodate 280 tons of inorganic chemical waste each day from those areas. 

Household waste adds to the problem in Citarum River, with householders throwing their bathroom waste, or other waste products into the river. 

Bandung Environmental Management Agency last week conducted water quality tests in 75 spots, and found 74 of them were in the heavy pollution category, as reported by Antara news agency. 

The parameters that went beyond the normal level were heavy metal substances, fecal coliform, sulfide, chemical oxygen demand (COD) and dissolved oxygen (DO). 

Research, conducted by PT Indonesia Power and Padjadjaran University’s research center for natural resources and the environment in 2004, found that Citarum water quality in Saguling dam was below normal levels. The mercury level, for example, had reached 0.236, while the safe level is 0.002. 

The research center said that the mercury substance came from fish food and the plastics industry. Fish farmers often distribute too much fish food, which later forms sediment on the dam floor. When the underwater current brings the sediment to the surface, the fish are intoxicated and die. In 2004, 300 tons of fish died, while in 2010, 150 tons of fish died. 

Other heavy metal substances come from textile factories. Nowadays, the water in Saguling dam is no longer safe for consumption, agriculture or fisheries. 

Besides Saguling dam, the water quality in Cirata dam is in no better condition. Bandung Institute of Technology’s Industry Hygiene and Toxicology Laboratory, Jatiluhur Laboratory and the management of Cirata dam once conducted a joint research study and found four heavy metal substances — Lead (Pb) at 0.6 part per million (ppm), Zinc (Zn) at 22.45 ppm, Chromium (Cr) at 0.1 ppm, and Mercury (Hg) at 179.13 particle per weight — in the fish samples taken from the 6,200-hectare dam. 

The three dams along Citarum River produce energy equivalent to 16 million tons of fossil fuel per year. But with 4 million cubic meters of mud and 250,000 cubic meters of waste that arrives into Saguling dam each year, the process of filtering those would require a high financial outlay. 

Hermono Sigit, assistant deputy for the inland water ecosystem degradation control at the Environment Ministry, said that his office would concentrate on cleaning up Citarum River’s upstream area in five regencies or municipalities; areas which form a major source of pollution leading to the Saguling dam. 

“Our work is more on controlling the pollution. We want to handle the source of the pollution,” he said. 

He believed that Citarum River experienced the same thing as Ciliwung River, which is inundated with household waste. 

“Household waste remains the main pollutant, but industrial waste is also a major concern; it comes in second place. We encourage the administration to commit to upholding the regulation, and the companies to build waste-treatment facilities,” he said. 

He said that the clean-up project would involve local communities, including the industries, and that if everyone stopped throwing waste into the river, Citarum River would be clean again. 

“To clean up the heavy metal substances, I am thinking to block certain parts of the river, take out the water and the mud sediment, and rinse it clean from the heavy metal substances and other polluting elements,” he said. 

He added that the sewerage system construction to process liquid waste from the houses along Citarum River would be challenging, as it would depend on land acquisition, land clearing and funding. 

Meanwhile, local communities have launched their own efforts to clean up Citarum River. 

In Cikapundung River, there is Udis, a junior high school student, who always picks up garbage before and after school. His friends call him “Udis the Water Boy” because of his love toward the river. 

Deni Riswandani, from PKK DAS Citarum (Citarum Community Activists), hopes that the government and local administrations will help the communities with funding, facilities and promotion. 

He said that several communities have begun efforts to reduce their waste, such as recycling food sachets into bags or purses, and making biogas from the cow dung, but they still lack funding and facilities. 

“It would be nice if the government supported our efforts. For example, we need promotion for the recycled products, more funding and the provision of facilities to improve the biogas production because the biogas machines capacity is still low,” he said. 

T. Bachtiar, geography expert and management lecturer at Islam Nusantara University, said that Citarum River has legends and local wisdom that promote keeping nature clean. 

He cited the case of an underground freshwater cave, Sangiang Tikoro, that used to produce an 
eerie scream-like sound when a foreign object such as lidi (a vein of a coconut palm leaf), or even a strand of hair, entered the cave. 

In the Sundanese language, sangiang means “god” while tikoro means “throat”; therefore, it means the throat god.

“There was an old saying that if you washed your hair with water from Citarum River, you should not let your hair fall in the river as it would hurt the throat god,” Bachtiar said. 

Another local legend says that people should work the soil like a mother holding a baby. 

“It means that if agricultural activity is located on a hill, the terrace system should be planned in a circular pattern around the hill, just like a fabric bonding a baby with its mother,” Bachtiar said. 

A small village called Mahmud village along Citarum River has its own nature-related local wisdom. 

The houses in the village are made from bamboo and are built on stilts. It is said that this is due to the village tradition that forbids people from building houses with bricks, and keeping livestock such as goats and geese. 

Home to some 200 families, the village has a forbidden forest, where it is forbidden to cut down trees or hunt animals dwelling there. 

Unfortunately, in the years following the Dutch colonial era, the forbidden forest was destroyed and turned into paddy fields and vegetable patches. 

Tifa Asrianti, The Jakarta Post | Mon, 08/08/2011 

Konservasi Segera Lahan Kritis



Kepala Seksi Pelayanan dan Penerapan Balai Litbang Sosial Ekonomi Sumber Daya Air Puslitbang Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum, Sunardi menilai, pelaksanaan konservasi pada lahan kritis harus segera dilakukan. Tujuannya, selain meningkatkan kualitas air, juga guna mendongkrak penambahan sumber mata air. 

Apalagi dibarengi dengan sumur resapan. Konservasi berbasis kearifan masyarakat lokal, dapat mencegah longsor dan erosi di saat turun hujan deras yang berpotensi membawa endapan lumpur yang bermuara ke waduk. 

Program konservasi sepanjang Sungai Citarum itu, secara teknis ditangani langsung Balai Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). Sedangkan pendekatan sosial ekonomi masyarakatnya, dilaksanakan langsung Puslitbang, di antaranya yang tengah dilakukan Sunardi tersebut. 

"Karena itu kami berusaha melakukan penelitian dan pendekatan kepada masyarakat. Ini dalam upaya mendukung gerakan penyelamatan air dan konservasi berbasis masyarakat. Sebelumnya, sempat dilakukan konservasi, namun pelaksananya bukan masyarakat, melainkan pihak terkait. Pelaksananya mengacu pada keinginan dan kearifan masyarakat yang diharapkan bisa berhasil," tutur Sunardi kepada "GM" di Cicalengka, Senin (1/8). 

Didampingi aktivis elemen lingkungan Kab. Bandung, D. Riswandani, Sunardi mengatakan, proses pendekatan kepada masyarakat itu, di antaranya melalui gerakan sosialisasi rencana konservasi sumber daya air partisipatif, di wilayah lahan kritis yang ada di sejumlah desa dan kecamatan di hulu Sungai Citarum Kab. Bandung. 

Menjadi sasaran dalam pergerakan awal konservasi itu, imbuhnya, yaitu pendekatan terhadap masyarakat pemilik lahan kritis di Desa Cikawao dan Sukarame, Kec. Pacet. Dua desa itu bagian dari hulu Sungai Citarum yang berada di kawasan lahan kritis. Sunardi mengatakan, langkah pendekatan kepada masyarakat itu, bagian dari pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi lahan kritis. 

"Sebelumnya, kami sempat melakukan pendekatan yang sama di Kab. Wonogiri, Subdas Keduang yang melibatkan 19 desa. Itu setelah kesadaran masyarakat meningkat. Selanjutnya, di Subdas Cimanuk Garut dengan melibatkan lima desa yang tersebar di Kec. Samarang dan Sukakarya. Subdas Cimanuk itu untuk mengairi Waduk Jatigede," katanya. (B.105)**

Tanamkan Peduli Lingkungan terhadap Keluarga


PERAN kepala keluarga, istri, dan anak di dalam sebuah keluarga sangat penting karena memiliki keterkaitan. Jika mereka saling mendukung dan memahami peran masing-masing akan tercipta keluarga harmonis yang berujung pada kebahagiaan. Peran ketiga pilar itu tergambarkan dalam keluarga D. Riswandani, tokoh pemuda sekaligus penggerak Elemen Lingkungan (Pemberdayaan Masyarakat) Kab. Bandung. Riswandani memiliki tekad mulia untuk menghibahkan hidupnya memperjuangkan kebaikan lingkungan. 

Menurut Riswandani, menjelang ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, banyak hikmah yang bisa diraih. Menurutnya, menghadapi bulan suci Ramadan bukan berarti harus mengurangi kegiatan atau aktivitas sehari-hari. Riswandani bersama istrinya, Yanti Rodianti, meningkatkan sebuah kegiatan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan. 

"Yang sudah biasa kami lakukan, sambil menunggu beduk magrib atau tiba waktunya buka puasa, sering melaksanakan ngabuburit lingkungan. Artinya, mengajarkan pada anak-anak (TK, SD, SMP, SMA/SMK) melakukan tadabur lingkungan. Kegiatan itu sering dilaksanakan setiap memasuki bulan Ramadan," kata ayah dari dua orang anak, Sukmawati (12) dan Khaira Nursabilah (2) kepada "GM" di rumahnya di Jalan Raya Laswi, Desa Padaulun, Kec. Majalaya, Kab. Bandung, Sabtu (30/7). 

Menurut Riswandani, fungsi dari tadabur alam untuk memahami kondisi alam yang sebenarnya. Terlebih lagi manusia memiliki tanggung jawab moral untuk mengurus alam. Kendati dibarengi dengan banyak kegiatan lingkungan, kata dia, tidak mengendurkan niatnya untuk tetap berusaha dan mempertahankan melaksanakan ibadah puasa. "Pola makan santap sahur dan buka puasa pun sama tak ada perbedaan. Tetapi yang jelas, ada kenikmatan tersendiri disaat menjalankan ibadah puasa sambil melaksanakan kegiatan lingkungan," kata pria yang sangat peduli terhadap lingkungan dan kiprahnya itu dimulai sejak 1998 hingga sekarang ini. 

Namun di sisi lain, tampilnya suami pada posisi paling depan sekaligus corongnya masyarakat dalam memperjuangkan kepedulian terhadap lingkungan, membuat waswas sang istri, Yanti Rodianti. Yanti mengaku, ia bersama anak-anaknya sering ditinggalkan suami, baik saat memasuki bulan Ramadan maupun pada hari-hari sebelumnya. 

Suaminya adalah tokoh pemuda penggiat lingkungan yang selalu terusik manakala melihat lingkungan menjadi korban ketidakpedulian pihak-pihak terkait. "Saya sering ditinggalkan suami. Tapi itu adalah reiiko dan konsekuensi menjadi istri dari suami yang berkomitmen terhadap lingkungan," kata Yanti. 

Diakuinya, sewaktu-waktu ia merasa waswas. Apalagi ketika ada ancaman atau teror terhadap suaminya, setelah mengungkap fakta sebenarnya pencemaran lingkungan. Hal itu sudah menjadi bagian komitmen mereka sebelum menjalin pernikahan. "Saya tetap percaya kepada suami. Kita juga berusaha untuk menghadapi waspada terhadap hal yang tidak diharapkan," katanya. 

Sambil mengelus putri bungsunya yang tertidur di lantai, ia berusaha untuk tetap memberikan pengertian kepada anak sulungnya yang menginjak remaja saat ayahnya tidak ada di rumah. "Walau ayahnya tidak ada di rumah, saya bersama suami tetap melakukan komunikasi dan berusaha untuk saling memahami," katanya. 

Tetapi, saat suami sibuk dengan kegiatan lingkungan, berusaha untuk meluangkan waktu bersilaturahmi dengan kedua orangtua. Dengan adanya saling pengertian di antara keluarga itu, sehingga tidak timbul persoalan. Bahkan, mereka saling mendukung. Termasuk dukungan juga datang dari anaknya, Sukmawati. 

"Harapan kepada ayah, supaya lebih sukses dan jangan berhenti berjuang. Baik memperjuangkan kesuksesan di dalam keluarga maupun lingkungan yang menjadi pekerjaan ayah saat ini. Ayah juga diminta untuk tetap menjaga kesehatannya. Apalagi saat ini, menghadapi bulan Ramadhan," kata Sukmawati. Semoga menjadi keluarga sukses. Amin. (engkos kosasih/"GM")**

Elemen Lingkungan ( ELINGAN ) Jawa Barat



Visi
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia ( SDM ) dalam mengelola Kelestarian Sumber Daya Alam (SDA)

Misi
·     Pro-Aktif  dan  Objektif serta Aquntabilitas dalam pemberdayaan SDM  terhadap pengelolaan kelestarian SDA
·     3M  Langkah Strategis  Elingan Terkait Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
1. Merespon Semua Kebijakan Terkait Lingkungan,
2. Mensupport Kebijakan yang Pro Rakyat Dan Pro  lingkungan,
3. Menpresurre Kebijakan yang salah atau terjadi penyelewengan dalam pengelolaan lingkungan )  
·    KIS ( Kordinatif, Integritas dan Sinergisitas )  dalam pemberdayaan SDM terhadap pengelolaan kelestarian SDA

Ruang Lingkup
·    Manajemen Pengelolaan Lingkungan Berbasis Masyarakat
·    Risert Dan Pemetaan  Partisipatif Terkait Persoalan dan Potensi dan Rekomendasi Pengelolaan Lingkungan.
·    Peningkatan Kapasitas dan Pelembagaan Masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
·    Advokasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan.
·    Aksi Pengelolaan Lingkungan
·    Pemeliharaan, Pengawasan dan Evaluasi Kegiatan Elingan

Teknik dan Proses Kegiatan
·   Roadshow Pemberdayaan SDM dalam mengelola Kelestarian SDA melalui :
1.  Aspek Apektif  yaitu menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam mengelola lingkungan melalui perspektif  Agama Islam
2.   Aspek Kognitif yaitu melihat sejarah keberhasilan masyarakat dalam mengelola lingkungan melalui perspektif budaya kearipan lokal
3.  Aspek  Psikomotorik yaitu membangun spirit yang inovatif masyarakat dalam mengelola lingkungan melalui perspektif  Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Yang Ramah Lingkungan, RegulasiPeraturan Lingkungan,  Keterampilan, serta meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat.
·    Sabilulungan Pemberdayaan SDM dalam mengelola kelestarian SDA melalui :
1.    Integritas dan Sinergisitas dalam menyusun rencana aksi pengelolaan lingkungna
2.    Tindakan nyata bersama dengan  seluruh stakeholder yang terkait dengan lingkungan dalam mengelola kelestrarian SDA 

Sekertariat :
Jalan Raya Laswi Warusatangkal No 50 Majalaya Kab. Bandung 40382
Tlp : 085220288607
Email : deni.elingan@yahoo.com
Web : elingan.blogspot.com


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More